TUGAS
SEMESTER
Ulumul Hadits
Dosen
Pengumpu:
(Tulis nama Dosen).
Disusun
oleh:
R
U S I A
NPM:1284481
Jurusan
Tarbiyah
Program
Studi Pendidikan Agama Islam (F)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN)
JURAI SIWO METRO
TAHUN 2013
A. PENERIMA HADIS
1. Penerima Anak-anak, Orang Kafir dan
Orang Fasik
Jumhur ulama ahli hadis berpendapat, bahwa penerima
periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf)
dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain pada
waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat,
tabi’in dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadis seperti Hasan,
Abdullah bin Zubeir, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid dan
lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum,
namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak yang
diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas dari
ketamyizan anak tersebut.
Al-Qadhi’ Iyad menetapkan,
bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling
tidak sudah mampu menghafal apa yang diengar dan mengingat-ingat yang dihafal.
Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dari Sahabat Mahmud
bin Al-Rubai’;
Arab.....hadis
“ Saya
ingat Nabi SAW. Meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang
saat itu saya berusia lima tahun”.
Abu abdullah Al-Zuba’i mengatakan, bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis
hadis pada saat usia mereka telah mencapai umur sepuluh tahun, sebab pada usia
ini akal mereka telah dianggap sempurna, dalam arti bahwa mereka telah
mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hafalannya dan mulai
menginjak dewasa. Yahya bin Ma’in menetapkan usia lima belas tahun, berdasarkan
hadis Ibnu Umar : “ saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW pada waktu perang
Uhud, disaat itu saya baru berusia empat belas tahun, beliau tidak
memperkenankan aku. Kemudian aku dihadapan kepada Nabi SAW. pada waktu perang
Khondaq, disaat yang berumur lima belas tahun dan beliau memperkenankan aku”.
Sementara
ulamaSyam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadis
setelah berusia 30 tahun, dan ulama Kufah berpendapat minimal berusia 20 tahun.[1]
Kebanyakan ulama
ahli hadis tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan
bertahammul, akan tetapi lebih menitik beratkan pada ke-tamyiz-an
mereka. Namun mereka juga berpendapat tentang ke-tamyiz-an tersebut. Ada
yang mengatakan bahwa anak sudah dikategorikan tamyiz apabila anak
tersebut sudah mampu membedakan antara al-baqarah dan al-himar, seperti
diungkapkan oleh Al-Hafidz bin Musa bin Harun Al-Hammal. Menurut Imam Ahmad,
bahwa ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat
yang dihafal. Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dijadikan ukuran ketanggisan
seseorang itu bukan berdasarkan usia mereka, akan tetapi dilihat dari “ apakah
anak itu memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar atau
tidak.”
Terjadinya
perbedaan pendapat ulama mengenai ke-tamyiz-an seseorang tidak terlepas
dari kondisi yang mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasarkan pada usianya,
sebab bisa saja seseorang pada usianya tertentu, karena situasi dan kondisi
yang mempengaruhi, dia sudah mumayiz, sementara seseorang pada usia yang sama,
karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi berbeda, dia belum mumayiz. Oleh
karenanya, ke-tamyiz-an seseorang bukan diukur dari usia, tetapi didasarkan
pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab
pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat
hafalannya.
Mengenai
penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama ahli hadis
menganggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat
mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah
banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyak sahabat yang mendengar sabda
Nabi SAW sebelum mereka masuk Islam Di antara, sahabat yang mendengar sabda Rasul SAW.
pada waktu belum
masuk Islam adalah sahabat Zubair. Dia
pernah mendengar Rasul SAW. membaca surat AI-Thor pada waktu sembahyang maghrib, ketika dia tiba di Madinah
untuk menyelesaikan urusan perang
Badar, dalam keadaan masih kafir. Akhirnya dia,masuk Islam. Bila penerima hadis oleh orang kafir
yang kemudian disampaikannya setelah memeluk agama Islam diterima. Maka sudah
barang tentu dianggap sah penerima hadis oleh orang fisik yang diriwayatkan
setelah dia bertobat.
2. Cara Penerimaan Hadis
Para ulama ahli
hadis menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadis menjadi delapan
macam.
a. Al-Sima’
Yakni suatu cara
penerima hadis dengan cara mendengarka sendiri dari perkatan gurunya dengan
cara didektekan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang
menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut. Menurut jumhur
ahli bahwa cara ini merupakan cara peneriman hadis yang paling tinggi
tingkatannya.
Kesalahan, tetapi, dalam al-qira’ah, bila bacaan
murid salah, guru segera membenarkannya. Imam Malik, Bukhari, sebagian besar
ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al-qira’ah dengan al-sama’
mempunyai hubungan yang sama. Ibnu Abbas mengatakan (kepada muridnya)
“Bacakanlah kepadaku, sebab bacaan kalian kepadaku seperti bacaanku kepada
kalian”. Sementara Ibnu Al-Shalah, Imam Nawawi dan Jumhur ulama memandang bahwa
al-sama’ lebih tinggi derajatnya dibandig dengan cara al-qira’ah.
c. Al-Ijazah
Yakni seorang guru yang memberikan ijin
kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau
orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau
tidak mendengarkan bacaan gurunya, seperti:
(saya
mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku). اَ جَزْ تُ لَكَ اَ نْ تَرْ وِ يَ
عَنَّى
Para ulama berbeda pendapat mengenai
penggnaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadis. Ibnu Hazm
mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah ini
di anggap bid’ah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama yang
menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar diingkari. Sedang ulama yang
memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru
benar-benar mengerti tentang apa yang dijazahkan dan naskah muridnya menyamai
dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya serta
hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.
Al-Qadhi ‘iyad membagi Ijazah ini
menjadi enam macam, sedang Ibnu Al-Shalah menambah satu macam lagi, sehingga
menjadi tujuh macam. Ketujuh macam al-ijazah tersebut sbagai berikut:
Pertama, seseorang guru
mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa orang tertentu
sebuah kitab atau beberapa kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-Ijazah seperti
ini diperbolehkan menurut jumhur.
Kedua, bentuk Ijazah
kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu,
seperti “saya Iajazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk
kamu riwayatkan dariku”. Cara seperti ini menurut jumhur juga tergolong yang
diperbolehkan.
Ketiga, bentuk ijazah
secara umum, seperti ungkapan, “saya ijazahkan kepadamu kaum Muslimin atau
kepada orang-orang yang ada (hadir)”.
Keempat, bentuk Ijazah
kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid (rusak).
Kelima, bentuk ijazah
kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih
dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.
Keenam, bentuk al-ijazah
mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan kepada penerima
ijazah, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dari
sesuatu yang akan kudengarnya”. Cara seperti ini diangap batal.
Ketujuh, bentuk al-ijazah
al-mujaz, seperti perkataan guru “saya ijazahkan kepadamu ijazahku”. Bentuk
ini termasuk yang diperbolehkan.
d. Al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis
atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada
juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah seorang guru memberi
kepada seorang murid, kitab asli didengar dari gurunya, atau sesuatu naskah
yang sudah di cocokan, sambil berkata, “inilah hadis-hadis yang sudah saya
dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazahkan
kepadamu untuk diriwayatkan”.
Al-Munawalaha itu mempunyai dua bentuk,
yakni:
Pertama, al-munawalah dibarengi dengan
ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah dia
riwayatkan atau naskahnya yang telah dicocokan atau beberapa hadis yang
telah ditulis, lalu dia katakan kepada muridnya “ini riwayat saya, maka
riwayatkanlah aku”, kemudian menyerahkannya dan sang murid menerima sambil sang
guru berkata “saya telah ijazahkan kepadamu dalam bentuk ini
ialah sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari gurunya, kemudian
sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkannya
darinya. Cara seperti ini, menurut al-Qadhi ‘Iyad termasuk periwayatan yang
diangap sah oleh para ulama ahli hadis. Hadist yang berdasar atas
munawalah bersama ijazah biasanya menggunakan redaksi
:
( seseorang telah memberitahukan kepadaku/ kami)
Kedua, al-munawalah tanpa dibarengi
dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya “ini hadis saya”atau
“ini adalah hasil pendengaranku atau dari periwayatanku” dan tidak
mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu”.
Menurut kebanyakan ulama al-Munawalah dalam bentuk ini tidak
diperbolehkan. Hadis yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa
dibarengi ijazah ini biasanya mengunakan
redaksi:
(seorang telah memberikan kepadaku/ kami).
e. Al- Muktabah
yakni seorang guru menuliskan sendiri
atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagaian hadisnya guna
diberikan kepada murid yang ada di hadapannya atau yang tidak hadir
dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk
menyampaikannya.
Al-Muktabah ada dua macam, yakni :
Pertama, al-Muktabah yang dibarengi
dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadis untuk
diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata “ini adalah hasil
periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “ saya ijazah ( izin) kan kepadamu
untuk kamu riwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-muktabah dalam
bentuk ini sama halnya dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yaki
dapat diterima.
Kedua, al-mukatabah yang tidak
dibarengi dengan ijazah, yakni guru menuliskan hadis untuk diberikan kepada
muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan.
Al-Mukatabah dalam bentuk ini diperselisihkan leh para ulama. Ayub,
Mansur, al-Lais, dan tidak sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama usul
menganggap sah periwayata dengan cara ini. Sedangkan al-Mawardi menganggap
tidak sah.
f. Al-I’am
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada
muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkan dia terima dari seseorang
(guru), dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya atau
menyuruhnya. Sebagaian Ulama ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu al
–Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadis dengan cara ini. Karena
dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya.
Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis,ahli fiqh dan ahli ushul memperbolehkannya.
Contohnya:
( seseorang telah memberitahukan
padaku:”telah berkata kepada kami....”)
g. al-Wasiyah